Social Media And Its Perks



Sosial media dan segala hal yang ada di dalamnya memang sekarang menjadi fenomena.
Dulu, orang nggak kebayang bisa jualan cuma modal ponsel. Sekarang, apa sih yang nggak mungkin?
Pembeli dan penjual nggak pernah bertemu muka tapi bisa transaksi.
Dulu juga nggak kebayang bisa dapat pasangan hidup modal kenal dari fesbuk. Sekarang, apa sih yang nggak mungkin? Ketemuan modal webcam dan koneksi internet, tahu-tahu dateng terus janur kuning melengkung di depan rumah.

Berkat media sosial, semua menjadi mungkin.

Katanya, media sosial ini bagaikan pedang bermata dua. Kalau dipegang oleh orang yang tepat, maka ia akan menjadi bermanfaat. Tapi kalau dipegang oleh orang yang tidak tepat, malah akan jadi mudharat. Katanya, ya, katanya.

Tapi "katanya" itu bener juga, kok.

Berita hoax yang semakin merajalela sekarang ini rasanya sulit banget untuk dibendung. Belum lagi fenomena selfie yang dibilang penyakit jiwa lah, kelainan mental lah, sampai ke ranah agama juga. Ada lagi Feeling of Missing Out alias FOMO, di mana orang akan merasa cemas ketinggalan informasi atau ketinggalan notifikasi.

Kalo menurut saya sih, semua balik lagi ke pribadinya.

Saya sendiri pernah kecanduan media sosial, Facebook. Ketika Friendster runtuh, saya sempat nge-Plurk, terus teman-teman dan murid ngenalin saya ke Facebook. Mulanya biasa saja, tapi lama kelamaan kok kayak ada yang hilang kalau saya nggak login ke FB.

Hal paling parah yang saya rasakan adalah, waktu itu sempat merasa minder banget sama teman-teman di TL. Sebagian besar teman saya di FB adalah teman SD, SMP dan SMA. Saya waktu itu masih jadi kuncen dan tukang bersih-bersih lab di sekolah. Sementara teman-teman saya sudah lulus kuliah S1 dan S2, baik di dalam maupun luar negeri.
Ada lagi teman yang dulunya kami anggap cupu, waktu itu saya lihat sudah sukses dengan bisnis yang ia rintis sendiri. Belum lagi yang sudah jadi manajer dan kerjaannya posting foto liburan atau dinas ke luar negeri.

Sementara saya? Waduuuh.. jauh banget dari "kasta" mereka. Minder, kecewa terhadap diri sendiri dan insekyur mulai menggayut.
Rasanya saya nggak cukup berharga.
Duh, sedih banget deh pokoknya. Hahaha. Nelongso emen.

Kelar bersih-bersih lab, saya cuma bengong aja di depan PC sambil sekrol sekrol liatin timeline temen dan saya semakin terpuruk secara psikologis. Banyak waktu yang saya habiskan untuk ikut kuis nggak penting dan games online.

Lalu sembuhnya gimana? Ya nggak tahu juga sih persisnya kapan. Yang pasti, waktu itu saya sempat deactivate FB karena rasanya saya semakin nggak sehat. Ya masa orang lain posting foto wisuda, saya yang nangis? Kecewa dengan hidup sendiri?
Ya masa orang lain posting foto mesra dengan suami/ istrinya, saya yang bete? (waktu itu masih jomblo)
Udah nggak sehat banget, kan?
Makanya, saya pilih mending off dulu deh dari FB dan work my things out.

Ketika satu demi satu pintu pencerahan dibuka sama Allah, akhirnya saya bisa membentengi diri dari ketergantungan akan media sosial. Belum sukses banget sih, sampe sekarang, tapi setidaknya kecupetan saya dah berkurang jauh. Haha.

Nggak ada lagi mellow dan bete ketika liat orang sukses dengan karirnya, keluarganya atau pendidikannya. Karena ya, itu hidup mereka. Pilihan mereka juga mau menampilkan apa di TL nya. Kalo saya nggak suka kan tinggal saya unfollow, beres. Bukannya saya jadi iri hati, dengki durjana ngeliat kebahagiaan mereka dan ngatur-ngatur apa yang harus mereka post di TL mereka, kan?

So let's just do our sh*ts together and let people happy.

Karena awalnya media sosial dibuat untuk bersosialisasi, kok. Terus, kenapa kita jadi ansos?

Menurut ngana?





Photo by Tim Bennett on Unsplash

Comments

  1. Bener banget mbaa, media sosial itu bermanfaat kalo dipegang sama orang yang tepat. Buat aku, salah satu cara buat membentengi diri dari hal negatif atau ketergantungan media sosial, adalah banyak baca pengalaman orang-orang, contohnya kisah mbak ini. Dengan gitu, mata dan pikiran jadi lebih terbuka, jadi lebih paham sebaiknya harus apa..

    ReplyDelete

Post a Comment