For The Cities I've Ever Loved Before



Saya bukan seorang traveler sejati, sih. Bukan karena nggak mau tapi emang karena nggak mampu. Hahaha. Apalagi udah nikah dan punya anak gini, semua keputusan finansial dibuat berdasarkan what's on the top list, based on priority.
Setiap kota yang saya jabarkan di sini (padahal cuma 3 doang), semuanya mempunyai kesan dengan kadarnya masing-masing. 
Entah berapa durasi yang dibutuhkan untuk bisa dibilang "saya pernah tinggal di sini". 
But, let's pick from the shortest one, shall we?

Davao City, Filipina Selatan

Sebuah kota yang terletak di semenanjung Mindanao, punya barisan pantai yang cantik, jalan raya yang lebar, dan pegunungan yang sejuk. Kenapa bisa ke sini? Delapan tahun yang lalu, saat masih bersatus sebagai mahasiswi di ITB, saya dikirim ke kota ini sebagai seorang SEAMOLEC Expert. Titelnya sih keren, demikian pula kerjaannya. Hahaha. #narsis.

Gimana nggak? Saya dan 3 orang kawan ditugaskan untuk menjadi duta Indonesia, mengajar di sekolah dan universitas di kota Davao dan sekitarnya. Kami bepergian dari ujung paling selatan hingga utara, dari Davao del Sur hingga Davao del Norte. Bahkan sampai melobi kerja sama dengan madrasah di Kotabato, kota yang waktu itu sedang dalam status berkonflik. Jejaknya terekam semua di sini

Kesan pertama yang saya dapati ketika sampai di kota ini adalah: panas. Waktu itu kami ditempatkan di House of Indonesia (HOI) yang belakangan baru kami ketahui ternyata mess-nya spooky. Huaaaa... 
Alhamdulillah, selama tinggal di sana nggak ada yang aneh-aneh, sih. Paling berasa kayak ada yang nemenin gitu tapi ya dijalani aja ya.. namanya juga lagi tugas negara. Haha. 

Selain itu, kondisi kotanya agak a la western gitu. Di setiap warung atau kios kaki lima di pinggir jalan, selalu terpasang teralis yang agak rapat di depan kios mereka. Waktu saya tanya kenapa, mereka cerita kalau di sana sering ada baku tembak di jalanan dan itu adalah langkah preventif supaya warung mereka aman. Untung selama saya di sana nggak pernah liat langsung ada kerusuhan atau apa. It was quite safe and sound.  

Untuk bahasa, sebagian besar penduduk Davao menggunakan bahasa Visaya, Cebuano dan Inggris. Kami nggak ada kendala berarti waktu ngajar, karena hampir semua siswa/i, guru dan dosennya fasih berbahasa Inggris, jadi kami nggak perlu belajar bahasa nasional Filipina.

Ternyata, ada beberapa kata yang sama dengan bahasa Indonesia seperti mata dan sakit. Kami belajar bahasa Visaya karena pada saat itu mengemban tugas untuk membuat aplikasi kamus 3 bahasa: Tagalog, Indonesia dan Inggris. Pas sampe di sana malah keder karena ternyata bahasa yang dipakai bukan bahasa Tagalog, tapi Visaya.

Soal makanan, yang saya rindukan dari kota ini adalah toko roti yang ada di ujung jalan Kalamansi. Rotinya empuk tapi padat. Roti gandumnya enaaak banget. Sampe sekarang belum pernah nemuin roti gandum seenak itu, sih. Alhamdulillahnya, halal juga. Waktu bulan Ramadan, biasanya kami sahur dengan roti gandum dan segelas susu. Menu sederhana kayak gitu, tapi kami bisa tahan sampai buka puasa. Selain roti, yang saya kangen itu kinilaw (ikan mentah yang cuma dikucuri jeruk nipis) dan Halo-halo!

Walaupun terbilang singkat, tapi kota ini menyimpan banyak kenangan buat saya. Di kota ini, pertama kalinya saya nangis saat mendengar adzan berkumandang karena di sana adzan cuma kedengaran ya di dekat masjid aja. 
Pertama kalinya juga nangis saat upacara bendera sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara hari kemerdekaan. Ceritanya saya tulis di sini juga
Pertama kalinya kenal orang Indonesia yang nggak bisa berbahasa Indonesia, tapi lebih fasih ngomong Cebuano dan tetap ngomong "I'm an Indonesian and I love Indonesia". Gila gak, tuh?
Nulis gini jadi kangen Davao kan ah...  Kalo kepo silakan search Davao City dan tengoklah yaaaa...

Bandung
Yaaaa.. ini mah nggak usah dibilang di mana, ya?
Kota Kembang ini menyimpan berjuta kenangan, yang manis dan pahit. Lengkap, deh. 
Yang manis aja yang diceritain, ya?
Jadi saya bisa numpang tinggal di Bandung karena kuliah di kampus biru, ITB. Selama kuliah tahunya cuma kosan-kampus-kosan. 
Nggak kenal tempat wisata, atau kafe mana yang asik buat nongki. No. Saya nggak tahu sama sekali tentang itu. 
Sekalinya nongkrong ya di kampus, atau pelataran yang ada meja buat ngerjain tugas. Life was so hard at that time
Dengan beban belajar yang YA ALLAH EDYAN TENAN, ujian praktik di lab sampai jam satu pagi. Anak gadis pulang pagi, boook! Bareng cowok semua lagi. Ya apaaaa coba?

Udah gitu kosan di belakang Kebon Binatang Bandung. Udah nggak kenal lagi mana spooky mana nggaklah, pokoknya hajar aja jalan terus kalo pulang pagi, mah. 

Kenangan yang paling berkesan adalah ketika saya pingsan di kosan temen. Ngeselin, nggak?

Di tengah hectic-nya ngurusin tugas akhir yang exhausting itu, saya kayaknya kebanyakan begadang, terus makan nggak teratur. Sore itu nyempetin mampir ke kosan temen. Entah mo ngapain, lupa deh. Abis ngobrol gitu, saya kliyengan terus blas.. udah nggak inget apa-apa. Pas sadar, tahu-tahu udah di IGD. Entah kenapa baru pingsan doang udah digotong ke IGD. AMPUN TEMEN GUE KEBAEKAN BENER!

Sampe sekarang, kejadian pingsan itu jadi bulan-bulanan kalo kami ketemuan. Biarlah kupublikasikan semua di sini biar kalian senang ya, wahai sahabatku yang durjana. Eh tapi kalo dipikir mereka gila juga lo ngangkat badan saya yang waktu itu lagi gempal-gempalnya, dari bawah bonbin sampai atas... huahahaha.. saluuut!

Kenangan manisnya, disamperin pacar (sekarang suami) dong! Terus dia bilang mau nikahin saya (eta mah dilamar, lain? teuing, lah) pokona mah malem itu dia beliin saya cincin silver gitu buat kami berdua. Cincin yang dia pake mah masih awet sampe sekarang, cincin yang saya punya dah ilang entah kemana (emang jabrah urang mah).

Belum lagi kejadian konyol si Kutet waktu itu baru dapet transferan dari calon suaminya, terus ngajakin kami ke Ciwalk jam 10 malem cuma beli JCO sekotak terus balik, setelah sebelumnya ngerjain polisi yang jaga di sana, kita minta foto bareng. Saya bilang si Kutet orang jauh, baru sekali ke Bandung terus pengen foto sama polisi. Nya eta polisi hoyong waeee.. Hahaha!

Pengalaman paling horor adalah hampir nyemplung di kali Cikapundung menjelang tengah malam. ETA ANAK GADIS NGAPAIN NGAYAP?
Jadi ceritanya saya belaga jadi guide. Nyokap dkk lagi main ke Bandung, minta diantar belanja lah, ya. 
Terus pas mereka udah selesai belanja, saya gegayaan ga mau diantar balik ke kosan. Saya bilang dah dekat gitu. Saya bareng mereka cuma pas sampe ujungnya Cihampelas, terus jalan kaki ke arah kampus, persis di kakinya jalan layang Pasopati.
YA ALLAH ETA MENI POEK PISAAAAN.
Gegayaan yang kedua adalah, saya pikir kalau lewat dalam, nyusurin kali Cikapundung pasti nyampe bonbin kan, yaaa... ?
Nggak tahunya saya nyasar.
Jalan di pinggir kali Cikapundung sambil nangis ketakutan, udah gitu pake acara nyusruk segala, jadilah itu celana kena lumpur semua.
Sumpah ya, waktu itu nggak takut setan tapi takut ada orang yang jahatin saya, terus dihanyutin di Cikapundung.. amit-amit!  untung urang selamat, coba?!

Cilakanya, sampe kosan udah dikunciin. Ngetok-ngetok pintu ga ada yang bukain, akhirnya jalan lagi ngucluk-ngucluk ke rumah kosan teman yang laki-laki (grup Jakarta cowok semua, saya doang sendirian yang cewek). 

Sampe kosan temen, kata mereka muka saya pucet, baju dan celana kotor semua. Bener-bener nggak jelas gitu deh tampangnya. Karena nggak tega, saya pun 'ditampung' semalam sama mereka. Dari dua kamar yang mereka tinggali bareng-bareng, satu kamarnya dikasih ke saya malam itu dan mereka tidur umpel-umpelan di kamar yang sebelahnya. Awwww. I know, they are so sweet. 

Sejak itu saya nggak pernah lagi jalan sendirian malam-malam di Bandung. 

Kendari, Sulawesi Tenggara

I have a love-hate relationship with this city. Saat kelas 4 SD, saya pernah bersekolah di sini. Sebuah SD negeri nomor satu pada masanya. Masa kecil yang lumayan berkesan karena untuk pertama kalinya saya hidup jauh dari orang tua. Saya numpang tinggal di rumah uwak dari pihak ayah.
Nggak banyak yang bisa saya ceritakan selain hiruk pikuk pasar ikan di pagi hari dan aroma laut yang menyeruak ketika saya buka pintu dapur rumah di pagi hari. 
Ya, rumah yang saya tinggali terletak di gunung kapur di pinggir pantai. It has such a very beautiful view

Bagi anak berusia 8 tahun, hidup jauh dari orang tua bukanlah sebuah hal yang mudah. Saat itu saya seringkali di-bully di sekolah karena saya cengeng. Hal kecil seperti kehilangan pensil akan membuat saya menangis sepanjang hari. Yang paling bikin jengkel adalah, ketua kelas yang seharusnya melindungi justru adalah perundung no satu di kelas. Cuma ada dua nama yang saya ingat di kelas itu: Akbar dan Wati. Akbar si ketua kelas dan Wati yang tinggal di dekat rumah uwak saya.

Setiap pagi, saya jalan kaki ke sekolah melewati masjid dan gereja yang berdampingan, lalu melewati pasar kota lama. Nggak jauh dari pasar, sampailah saya di sekolah yang saya tuju. Jaraknya agak lumayan, tapi buat saya naik angkot bukanlah sebuah pilihan. Uang saku yang sangat terbatas membuat saya harus memilih antara naik angkot atau nggak jajan di sekolah. 

Pulang sekolah, saya mengambil rute yang berbeda dengan jalur berangkat karena biasanya saya akan membeli jeruk bali yang harganya sebji cuma 100 perak untuk ukuran sedang, lalu biasanya jeruk bali itu akan dirujak, cuma pakai garam dan cili.

Kenangan lain yang masih melekat adalah, ketika saya rindu rumah, saya selalu duduk di kursi bambu yang terletak di atas bukit yang menghadap ke laut. Entah siapa yang bikin, tapi saya selalu suka duduk di sana kalau sore hari, karena langitnya cantik. Dari kursi panjang itu juga saya bisa lihat kapal berlalu lalang di pelabuhan Kendari yang lumayan ramai.

Ketika lulus SMA, saya kembali ke kota ini dalam kondisi patah hati karena gagal kuliah. Mengadu nasib di kota kecil, saya malah mendapatkan banyak pengalaman berharga. Di kota ini saya pertama kali tahu kalau saya punya skoliosis, pertama kali bisa nyetir motor, diajari oleh sahabat sekaligus bos warnet tempat saya bekerja, dan, pertama kali lainnya...

Setiap kota yang saya (pernah) tinggali. Semuanya membawa kesan tersendiri. Semuanya memberi warna dalam diri, yang nggak akan bisa saya lupa.

For the cities I've ever loved before, thank you. 

Image: pixabay


 







Comments