Dua Pahlawan Bulan November

November adalah bulan ke-11 dalam perhitungan tahun Masehi. Di bulan yang selalu ditemani rintik hujan ini, Allah menakdirkan lahirnya dua orang perempuan yang paling berarti dalam hidup saya. Mami dan Emak.








Ya, saya nggak salah ketik, kok. Mami dan Emak. Mami adalah panggilan untuk ibu kandung saya, sementara Emak adalah panggilan untuk almarhumah ibunda dari Mami, alias nenek saya. Kami, para cucu sudah terbiasa memanggil beliau dengan sebutan "emak", bukan nenek, oma, eyang atau lain sebagainya.

Ajaibnya, Mami dan emak sama-sama lahir di tanggal yang sama, 16 November. Jadi, almarhumah emak melahirkan mami saat beliau sedang berulang tahun yang ke-22. Masih muda banget, ya? Umur segitu udah punya anak 4! :D Nggak heran, beliau kan dipersunting oleh kakek saya saat beliau masih berusia 15 tahun.

Di usia yang masih sangat belia, emak berjuang bersama kakek. Almarhum kakek saya adalah seorang veteran angkatan laut. Emak mendampingi Bapak (panggilan kami untuk kakek) tanpa kenal lelah ataupun keluh. Di tengah kondisi negeri yang porak poranda, emak berjuang bersama bapak membesarkan ke-16 anaknya. Pindah dari satu daerah ke daerah yang lainnya, bertahan hidup dalam arena medan perang.

Emak dan Bapak saat masih muda. Cantik dan ganteng banget, ya? #cucunarsis
Saya mengenal emak sebagai sosok yang sangat teguh sekaligus lembut hatinya. Dari sekian banyak anak dan cucu yang emak miliki, tidak pernah kami merasa emak pilih kasih. Yang paling membekas di ingatan saya adalah, ketika emak membelai rambut kami secara bersama-sama, bergantian. Biasanya emak akan duduk selonjoran di lantai, di depan televisi. Lalu kami akan tiduran di atas pangkuannya. Kemudian emak akan membelai kepala kami, para cucunya. Momen itulah yang paling saya rindukan. Sayangnya, Allah lebih sayang emak. Beliau berpulang pada usia 63 tahun, usia yang sama saat Rasulullah S.A.W wafat.

Lain Emak, lain pula Mami.


Kedua perempuan ini memiliki medan juangnya masing-masing. Mami adalah seorang ibu tunggal yang juga berperan sebagai ayah bagi kami. Beliau bekerja keras setiap hari untuk anak-anaknya, agar kami bisa terus sekolah dan bertahan dalam kondisi apapun.

Awalnya kami memanggil beliau dengan sebutan "Ibu", namun akhirnya berganti jadi "Mami". Kami memanggilnya dengan sebutan "Mami" gara-gara ada seorang keponakan dari Sumba yang sempat tinggal bersama kami. Mami memang hobi sekali "menampung" orang lain di dalam rumah kami. Mulai dari adik-adiknya, keponakan, bahkan muridnya yang orang tuanya bekerja di luar negeri.

Walaupun kami hidup susah, alhamdulillah berkah. Mungkin karena Mami murah hati, jadi rejeki mengalir tiada henti. Malah di dalam keluarga besar Mami, kami dikenal sebagai keluarga yang cukup mapan. Mungkin karena Mami bekerja, jadi dianggapnya selalu punya uang. Padahal, ya nggak selalu demikian.

Waktu saya SD, Mami berjualan nasi uduk yang dititipkan di kantin sekolah. Ketika SMP, tuntutan hidup semakin meningkat, sementara gaji Mami sebagai seorang PNS tidak sesuai dengan kebutuhan keluarga kami. Akhirnya saat SMP, saya sendiri yang menjajakan makanan yang Mami buat. Kami berjualan roti goreng, ketan dan es mambo di depan sekolah tempat Mami mengajar. Kalau ingat masa itu, rasanya perih sekaligus manis. Perih karena saya sempat malu ketika teman-teman melihat saya berjualan, tapi juga manis karena masa tersebut berhasil kami lalui.

Perjuangan Mami yang paling membekas bagi saya adalah ketika kami bandel. Kami bertiga mempunyai "masa bandel"-nya masing-masing. Padahal Mami berusaha sangat keras agar kami tidak kekurangan kasih sayang, walaupun ia harus membesarkan kami bertiga sendirian. Tapi yang namanya orang tua cuma "sebelah", pasti anak merasa ada bagian yang hilang.
Kalau kami bandel, Mami nggak marah, tapi beliau mengajak kami duduk bersama. Setelah kami bercerita, kemudian ia akan menceritakan kondisi keluarga kami dan perannya sebagai ibu tunggal. Saat itulah ia membukakan mata kami bahwa kami harus berjuang bersama.
"Mami nggak bisa sendirian. Mami butuh kalian", sambil menggengam tangan kami erat-erat. Lalu kami menangis bersama dan berpelukan, macam Teletubbies.

Ah, rasanya terlalu banyak cerita perjuangan Mami tersimpan di dalam memori saya. Perpisahan beliau dengan ayah, kekerasan dalam rumah tangga, hingga bagaimana merespon tanggapan orang lain tentang kehidupan keluarga kami. Hanya Allah Yang Tahu seberapa kuat hati beliau. Hanya Allah Yang Tahu seberapa keras jalan yang beliau harus lalui.

Pesta kejutan di sekolah, saat ulang tahun beliau yang ke-59 

Selamat Ulang Tahun Mami, Emak, dua pahlawanku di bulan November. Semoga Mami sehat selalu dan dijaga Allah. Amin.






Image credit: https://unsplash.com/photos/aQfhbxailCs

Comments