Asaboy dan Dunia Literasi

membawa "bekal" buku saat di perjalanan

"IQRA", yang berarti bacalah adalah perintah pertama yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebuah perintah yang terlihat sederhana, namun mempunyai makna yang demikian dalam dan luas. Apakah membaca hanya terbatas pada kegiatan "memandangi" kertas/ media berisi barisan kata-kata? 


Pepatah mengatakan, "Buku adalah Jendela Dunia".

Kalimat inilah yang cukup mengundang para orang tua untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke kursus baca-tulis anak balita. Dengan harapan, si kecil bisa membaca di usia dini. Dengan harapan, ketika anak sekecil itu bisa membaca, mereka bisa "melihat" dunia.

Tapi, apa iya seperti itu?

Pada materi Game Level 5 di kelas Bunda Sayang IIP, ada paragraf yang saya sangat suka, yaitu

"Mendengarkan dan berbicara adalah tahap yang sering dilewatkan orangtua dalam menstimulasi anak-anaknya agar suka membaca. Sehingga hal ini mengakibatkan anak yang BISA MEMBACA, belum tentu terampil  mendengarkan dan berbicara dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya. Padahal dua hal ketrampilan di atas sangatlah penting."


Saya dan papoy sendiri termasuk orang tua yang cukup "santai" dalam urusan baca-tulis ini. Maka kami sangat setuju dengan paragraf yang saya kutip di atas. Asaboy harus bisa memahami dan dipahami. Sederhana tapi mengena.

Lalu apa yang kami lakukan?

Sejak Asaboy masih di dalam kandungan, saya dan papanya selalu mengajaknya bicara. Walaupun kadang kami terlihat seperti kurang kerjaan, karena berbicara dengan perut saya sendiri. Tapi saya dan papanya yakin bahwa bayi kami sudah bisa mendengar dan merasakan apa yang kami utarakan kepadanya saat itu. 

Contohnya, ketika kami lakukan USG 3D saat ia masih berusia 7 bulan di dalam kandungan, kami bilang ke Asaboy, "Mas, hari ini kita mau foto mas di dalam perut. Nanti kalau di-foto om dokter, mas lihat ke kamera, ya?"

Hal itu kami lakukan karena banyak teman kami yang mengeluh, bayinya tidak mau "nengok ke kamera" ketika dilakukan USG 3D. Jadi, mukanya nggak kelihatan. Sudah merogoh kocek yang cukup dalam, eh, si bayi malah ngumpet menghadap belakang. Hehe. 
Alhamdulillah, Asaboy mendengar apa yang kami katakan dan inilah wajah si kecil saat masih berada di dalam kandungan. 

Foto Asaboy saat berusia 7 bulan
Setelah lahir, Asaboy pun sering kami ajak ngobrol. Kami tanggapi "hah huh, hah huh"-nya, sambil berusaha memahami apa yang sedang berusaha ia sampaikan. Mengajaknya bercanda dan menebak-nebak makna tangisannya. Duh, jadi kangen masa-masa Asaboy bayi. :D

Tapi ada suatu masa yang cukup membuat saya dan papoynya sedih. Fase memukul. Saya dan suami telah sepakat untuk tidak menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode komunikasi. Seingat saya, kami nggak pernah memperlihatkan aktifitas memukul dan sebagainya. Pepatah yang mengatakan, It takes a village to raise a child, itu benar adanya. Entah mendapat contoh dari mana, Asaboy pun suka memukul ketika ia merasa kesal atau frustasi saat tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. 

Di fase itu, kalau ia berusaha memukul, kami tahan tangannya dan bilang, "Mas, tangan ini untuk sayang Mama, sayang Papa" sambil mengusap-usapkan tangannya ke pipi saya/ papanya. Sedih banget kalau inget itu. Karena proses afirmasi itu nggak bisa dilakukan hanya sekali. Berhari, berminggu, bahkan berbulan hitungannya. Kadang saya juga sudah lelah dan cuma bisa memasang wajah marah. Godaan untuk membalas pukulan si bayi ini selalu datang ketika ia sudah bertindak kasar. Tapi saya berusaha menahan sekuat tenaga karena kami nggak ingin ia memahami bahwa "kekerasan harus dibayar dengan kekerasan".

Saya nggak ingat berapa lama proses itu kami lakukan. Tapi akhirnya ada perubahan signifikan. Frekuensi memukulnya menurun seiring meningkatnya kemampuan berbicaranya. Jadi kami pun belajar kalau "Oh, ternyata Asaboy mukul karena dia kesal kami nggak memahaminya". 
Akhirnya, kalau dia kelepasan memukul lagi, saya bilang, "Mas mau apa, nak? Ngomong! Mas udah bisa ngomong." Walaupun dengan pengucapan seadanya, kami berusaha memahami dan menyodorkan beragam hal yang ia mau. Kadang kalau ia menangis keras, ia kami peluk, sambil ditanya, "Mas marah? mas sedih? Kenapa?". "Mas ngomong maunya apa. Kalau mas nangis, papi nggak ngerti" adalah kalimat yang seringkali saya dengar dari papanya. Oya, itu kami utarakan saat Asaboy sudah bisa berbicara satu-dua kalimat. 

Duh, PR banget ya jadi orang tua.. tapi menurut saya, justru kami yang banyak belajar dari anak. 

Asaboy juga "mengajarkan kami" membaca. Saat kami bepergian, Asaboy selalu bertanya beragam hal yang memancing rasa ingin tahunya. Contohnya, saat kami ajak naik KRL dan duduk di kursi prioritas, ia akan menanyakan tentang arti simbol yang ada di poster yang tertempel di dinding KRL. 
Dan ini bukan cuma sekali nanya, kami jawab, lalu ia paham. No.
Proses tanya-jawab ini berlangsung berkali-kali. Lagi, lagi dan lagi. Setiap kami naik KRL, ia akan menanyakan hal yang sama. Berulang-ulang.  


"Mami, ini gambar apa?"
Yang kami lakukan ketika ia mengajukan pertanyaan yang sudah dijawab entah untuk ke- berapa kalinya adalah, menjawabnya. Dengan antusias! Hahaha.. Kenapa? Karena kami ingin ia merasa dihargai, dianggap dan didengarkan. Sama seperti kami ingin dihargai, dianggap dan didengarkan.
Lucunya, saking seringnya menanyakan pertanyaan yang sama, Asaboy bisa menerjemahkan simbol-simbol tersebut dengan bahasanya sendiri.
Menurut kami, itulah literasi.
Ketika ia sudah bisa membaca dan memahami makna apa yang sedang ia "baca". Walaupun, bukan berupa tulisan.

"Wah, ini ada dedek bayi di perut tantenya"


#Bunda Sayang
#Ibu Profesional
#IIP
#For Things To Change, I Must Change First




Comments