Harta Benda Dalam Perkawinan


Bicara soal pengelolaan keuangan, berarti bicara tentang kondisi harta. Sebelum menikah, mungkin gampang ya, nggak terlalu peduli dengan ini harta siapa, itu harta siapa. Tapi setelah menikah, urusannya jadi beda. Hartaku ya hartaku. Hartamu? ya hartaku. (ini Giant banget) :D


Kemarin sempat baca di feed instagram tentang pemisahan harta setelah menikah. Selama ini setahu saya, ketika dua orang menikah, maka semua hartanya tergabung menjadi satu. Termasuk utang dan piutang dua orang tersebut. Bener nggak, ya? Pagi ini saya coba browsing ke hukum online.com deh. Hasilnya:

Soal harta benda dalam perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) mengatur sebagai berikut:
1.    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.    Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Berdasarkan pasal UU tersebut di atas, maka jelas kalau semua harta yang diperoleh selama perkawinan itu menjadi harta bersama. Kecuali sebelum menikah sudah mempunyai perjanjian pra nikah yang memuat pasal tentang pemisahan harta. 

Lah, pagi-pagi gini ngomongin harta. Hahaha.. Ya, mestilah ya. Kita kan nikah nggak makan cinta, bu. Makan nasi. :P
Balik lagi ke feed instagram tadi.
Di salah satu post tersebut, ada teman yang menulis bahwa sebaiknya setelah menikah, harta suami dan harta istri dipisah. Jadi, ketika ada prahara rumah tangga dan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, nggak ada lagi itu namanya harta gono gini. Karena sejak awal, semuanya sudah jelas terpisah. 

Sekilas kayaknya ribet, ya? 
Kan niatnya kita menikah untuk menggenapkan separuh dien (ciee). 
Ngapain hartanya pake dipisah-pisah segala? 
Emang niat mau cere?
Saya yakin sih, nggak ada pasangan mana pun yang nikah niatnya cerai (kecuali kawin kontrak). 

ya tapi kan ga sampe kayak gini juga

Namun, kalau dilihat dari sisi lain, pendapat ini ada benarnya juga. Selain jelas terpisah mana uang suami, mana uang istri, ini menghindarkan friksi alias gesekan gesekan nggak penting akibat faktor ekonomi. Sementara, faktor ekonomi ini adalah salah satu penyebab perceraian. 

Mau pisah harta, mau gabung harta setelah menikah, saya rasa semua kembali lagi ke kesepakatan masing-masing pasangan. Ada suami yang lebih nyaman kalau keuangannya dikelola sama istri, ada juga yang sebaliknya. Yang penting bisa dikomunikasikan dengan baik. Jangan sampai kalau istrinya ngambek, suaminya nggak dikasih jatah bensin. Haha. Repot juga dong kalau kayak gitu. 

Mau masalah harta, pendidikan anak, bahkan urusan ranjang, semuanya bisa runyam kalau komunikasinya berantakan. Apalagi masalah uang, masalah sensitif. Bahkan masih ada pasangan yang merasa bahwa membicarakan soal harta adalah hal yang tabu. Jadi keduanya saling memendam prasangka, kemudian meledak di meja pengadilan. #AmitAmitJanganSampe

Semoga kita semua bisa saling berkomunikasi dengan baik sama pasangan, ya. Supaya mesra terus, harmonis terus, dan bisa melahirkan generasi terbaik bangsa. Amin. 

Tapi kalau saya sih lebih suka prinsip Giant-nya Doraemon,
Hartaku, hartaku.. Hartamu, ya hartaku.. 

Kalau kamu?

#Day9
#KuliahBunsayIIP 
#Tantangan10Hari 
#Level8 
#RejekiItuPastiKemuliaanHarusDicari 
#CerdasFinansial 





Images:
1. Photo by Wu Jianxiong on Unsplash
2. Photo by Alice Pasqual on Unsplash
GIF:
https://giphy.com/gifs/hulu-l3mZaELBkmOsDzBFC

Comments