Asaboy dan Mainan


Mendidik anak adalah PR besar bagi orang tua mana pun. Sejak Asaboy lahir hingga saat ini, rasanya kami lebih banyak belajar dari si kecil, daripada ia yang belajar dari kami. 

Selain karunia, membesarkan anak adalah sebuah ujian. Sebagaimana firman Allah di surat Al Anfaal ayat 28, 

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.S. Al-Anfaal: 28)
Di balik kebahagiaan yang orang tua miliki, ada sebuah pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Pekerjaan yang tidak pernah tuntas, tapi upahnya terus mengalir sampai kita terbaring di liang lahat. Upah baik atau upah buruk, semua tergantung akan apa yang kita tanam sebelumnya.(duh, nulisnya kok merinding ya)
Dari Asaboy kami belajar banyak hal, termasuk sampai ke finansial. Bagaimana mengelola keuangan agar semua bisa terakomodir dengan baik dan lancar. Cara ia mengajarkan kami tentang keuangan adalah, tentang belajar mengendalikan diri.
Seperti kemarin...
Sepulang sekolah, ia terlihat sumringah ketika melihat seorang penjual mainan yang sudah menunggu anak-anak keluar dari kelasnya sejak tadi. Keluar dari pagar sekolah, ia menarik tangan saya, membimbing saya ke arah gerobak si penjual mainan. 
"Mami, sini deh.. "
"Mau ke mana, boy?"
"Sini aja dulu, ikutin mas"
Saya menurut bagaikan kerbau dicucuk hidungnya. 
melihat mainan
Mata bulatnya berbinar melihat barisan mainan yang bertengger, berjejal di sisi kanan dan kiri gerobak. Ia menyentuh mainan miniatur kereta yang sepertinya terbuat dari plastik dengan harga cukup murah. Saya taksir, harganya sekitar lima sampai sepuluh ribu rupiah. 
"Mami, mas belum punya ini, lo"
katanya sambil mengangkat ujung kemasan mainan tersebut, memperlihatkannya kepada saya. 
Saya hanya mengangkat alis sedikit dan tersenyum. 
"Ok...terus?" tanya saya. 
"Hm.. mas mau..."
 Saya kembali tersenyum, tanpa mengucap sepatah kata pun
Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya ke mainan yang lain. Ke tumpukan slime yang dikemas dalam botol-botol kecil,  ke barisan plastik warna warni yang berisi kartu Tobot dan beragam mainan pancing tiruan. 
Pandangan matanya terhenti pada sebuah mainan pancing tiruan yang, seingat saya, mungkin sudah tiga atau empat kali kami pernah membelikan mainan yang serupa. 
Ia menatap saya, meminta persetujuan. Saya menggeleng. 
Saya dekati Asaboy, menggandeng tangannya dan mengajaknya sedikit merapat ke pinggir jalan. Saya memposisikan diri saya sejajar dengannya. 
"Boy... kamu mau beli mainan?"
Ia mengangguk pelan sambil merengek halus. 
"Boleh..."
Kepalanya sontak terangkat dan menatap saya dengan pandangan tidak percaya. 
"Beneran boleh, mi? Yeeeey" pekiknya riang.
"Sst... tunggu dulu. Mami belum selesai ngomong"
"Iya, kenapa mamiii?" ujarnya tak sabar.
"Boleh, kalau tabungan mas udah cukup,ya?"
Air mukanya berubah masam. Senyumnya lenyap seketika, kedua ujung bibirnya tertarik, melengkung ke bawah. 
"Tabungan mas di rumah, kan? Kita pulang dulu, yuk."
Air matanya mulai terkumpul di ujung matanya. 
"Nggak mau."
Kakinya menghantam aspal yang ia injak dengan keras. 
Saya diam.
Ia masih merengek lalu membeku. Menolak keras ajakan saya untuk pulang. 
"Oke, nggak apa-apa kalo nggak mau. Mami tunggu sampai kamu mau pulang."
Ia tetap merengek. 
Sementara saya sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggunakan otoritas saya, memaksanya pulang. 

Saya diamkan sambil bersiap-siap jika ia akan tantrum dan mengamuk di pinggir jalan. 
Ia masih mendengus, meluapkan emosinya. 
"Ya udah, ayo kita pulang, ambil tabungan mas" ujarnya
"Emang udah cukup?" tanya saya
"Kita pulang dan kita hitung dulu, oke?"
"Iya!" katanya sambil melengos ke arah motor kami yang diparkir di depan sekolah. 
Hhuuffftt... saya lega sesaat. Entah nanti bagaimana di rumah. Yang penting sekarang kami pulang dulu.  Semoga ketika sampai di rumah nanti, ia sudah lupa akan keinginannya. Amin. :)
#Day1
#KuliahBunsayIIP 
#Tantangan10Hari 
#Level8 
#RejekiItuPastiKemuliaanHarusDicari 
#CerdasFinansial
Photo by Karen Vardazaryan on Unsplash 

Comments