[Review] Free Writing, Hernowo Hasim

menulis

Pernah dengar writer's block?
Kalo beberapa penulis kawakan zaman modern bilang, "kutukan kursor".
Iya, buka aplikasi pengolah kata cuma ngeliatin kursor kedap kedip kayak ngeledek (Raia, "The Architecture of Love").
Nggak tahu apa yang mau ditulis. Padahal deadline sudah semakin menghantui.


Selain mendengar, saya juga pernah mengalaminya. #halah #gaya
Buktinya, ini blog sempat nganggur berbulan-bulan.
Rasanya, nggak ada ide mau nulis apa. Kerjaan juga stuck karena waktu habis buat riset, tapi tulisannya nggak kelar-kelar.

"Free Writing", oleh Hernowo Hasim

Waktu lagi main ke toko buku minggu lalu, secara nggak sengaja, saya nemu buku bagus di TM Bookstore. Judulnya "Free Writing", karya Hernowo Hasim. Waktu baca nama penulisnya, saya sempat mikir, rasanya namanya nggak asing. Ternyata bener, beliau adalah penulis yang sama yang menulis buku "Mengikat Makna", sebuah buku yang saya suka banget zaman kere sekolah dulu. Dapet buku Mengikat Makna di sebuah perpustakaan kecil tempat saya suka meminjam buku.

Balik lagi ke buku Free Writing.

Awal baca buku ini, biasa aja sih, nggak ada yang spesial atau gimana. Tapi anehnya, semakin dibaca, semakin lekat dan susah untuk berhenti. Hahaha..
Mungkin karena pak Hernowo menuliskannya dengan bahasa sehari-hari yang mudah dicerna dan santai aja gitu, ya. Baca buku ini tuh macam lagi ngobrol sore-sore sambil ngopi. Sederhana tapi bermakna. Yang paling penting. Rasional.

Jadi ceritanya, buku ini menceritakan tentang bagaimana kita menyelaraskan seluruh anggota tubuh untuk menulis.
Lah, nulis kan pake tangan, nggak pake badan?
Ya tapi kan, tangan bagian dari badan juga, kan?
Secara analogi, ketika kita menulis, yang terlihat bekerja berat kan, tangan. Padahal, bukan cuma tangan yang bekerja. Otak dan mata memegang peranan penting di sini.
Terus, apa hubungannya dengan writer's block?

Secara biologis, proses menulis adalah sebuah proses panjang. Melibatkan berbagai macam syaraf,  koordinasi otak, mata dan tangan secara simultan dan berkesinambungan. Yang paling umum terjadi adalah, tidak seimbangnya antara kecepatan berpikir dengan kecepatan ngetik. Nah, apabila terjadi writer's block, it means, there are something wrong with the bridge.
Jembatannya adalah seluruh organ yang terlibat dalam proses menulis tadi, baik yang terlihat maupun tidak.

New feature on my #bulletjournal: #bookoftheweek . Ini adalah salah satu #resolusi #literasi tahun ini. Bisa baca 1 buku sampai selesai setiap minggunya. Ehm, namanya juga usaha, yak...mudah2an sih bisa #konsisten...Amiiin #pencitraan 😂😂 . . A glance review of the "free writing" book by #Hernowo: This non-fiction book is not just a book who tells you how to write. Instead, it tells you about how to move your hands and start writing as your mind speaking. No matter what you write. It has no rule but to write consistently in 10 minutes, within 4 weeks in a row. With no structure, no guidance. Just pour the words popped on your head. . . Simple yet awesome. . . #ceritamamoy #writing #freewriting #nulis #menulis #literasi #baca #buku #books #book #emak #reading #motherhood #penandpaper #bulletjournal #journal #relax #love #life #family #write #storyteller #story #storytelling
A post shared by Inne R.A. (@inne.ra) on

Dengan teknik free writing ini, kita melatih semua organ yang digunakan untuk menulis secara berkesinambungan. Durasi latihannya juga pendek, cuma 10 menit. Tapi dilaksanakan setiap hari, sesempatnya, sebisanya, dalam kondisi yang santai dan tanpa tekanan. Materi apa yang ditulis? BEBAS!

Mau cuma nulis

aiaoifnaksjnfkajsbfckajxcbaquhrqwjrnaskmdnaskcjash asdasdkasdahsjdhajskdhkjasasdakshdjkahsdjasdklasdl

Gini juga nggak apa-apa. Yang penting nggak ngelamun dan tangan tetap bergerak di atas keyboard. Intinya, kita sedang mengirimkan sinyal pembiasaan ke alam bawah sadar kita. Melatih koordinasi otak, mata dan tangan untuk mengalirkan dan menerjemahkan apa yang terlintas di pikiran kita, apa yang mau kita tulis hingga berupa tulisan di layar.

Kalau menurut Stephen Guise, penulis buku Mini-habits, teknik pembiasaan ini disebut dengan stupid small. Sebuah kebiasaan yang dilakukan secara sedikit-sedikit, supaya otak kita merasa bahwa aktifitas tersebut sangat ringan, jadi nggak perlu usaha banyak, nggak usah capek. Ya namanya juga manusia kan biasanya cari gampangnya aja, ya kan? Hahaha. It seems that we are manipulating our own minds. :P

Free writing sendiri banyak banget tekniknya. Silakan googling sendiri, ya. Nah, di buku free writing ini dimuat semua peneliti, dosen dan pelaku teknik free writing yang sudah merasakan manfaatnya. Ternyata teknik ini resmi dipakai di beberapa universitas ternama. Hohoho.. maklum lah ya, saya kan bukan anak sastra, jadi nggak tahu.
Saya sendiri saat ini sudah melakukan selama satu minggu penuh. Rasanya? Aargh.... nano nano!

Hari kedua malah mewek.. Hahaha.. nggak tahu kenapa. Mungkin karena merasa terhura terharu karena akhirnya bisa menikmati aktifitas menulis lagi, ya. Hobi masa kecil yang menjadi penolong ketika rasanya dunia saya terbalik-balik. #lebay

Seminggu setelah menjalani free writing, saya akhirnya bisa merasakan lagi "Flow", teori yang dirumuskan oleh Mihaly Cziksentmihalyi, seorang psikolog Hungaria, yaitu:
"A state in which people are so involved in an activity that nothing else seems to matter, the experience is so enjoyable that people will continue to do it even at great cost, for the sheer sake of doing it"
Menurut saya, buku ini cocok banget dibaca untuk semua orang yang harus menulis demi tuntutan akademis seperti laporan magang, jurnal, karya ilmiah dan skripsi. Pas banget. Bener deh. Saya berharap ketemu buku ini ketika saya masih sekolah dulu. Eh tapi jodohnya baru sekarang. Tak apalah ya, it's better late than never.









Photo by Stanley Dai on Unsplash



Comments