Cerita Lumba-Lumba

lumba-lumba
Siapa yang tidak kenal lumba-lumba?
Mamalia laut yang sering disalahartikan sebagai ikan ini dikenal sebagai binatang yang ramah terhadap manusia.

Pagi yang cerah di Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Kapal Feri yang bertolak dari Pelabuhan Bajoe tengah malam tadi telah sampai di pertengahan perairan teluk Bone, yang membentang di sela kaki huruf "K" di semenanjung pulau Sulawesi. 

Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Kami sedang libur akhir tahun ajaran sekolah, lalu Mami membawa kami pergi ke kampung halaman nenek di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Udara di dek luar bercampur dengan bau asin laut dan bau besi dari kapal Feri. 

Dek bawah demikian padat sehingga kami memutuskan untuk bersantai di tepi dek sambil menikmati angin di luar. Tiba-tiba banyak orang yang berkumpul di sisi kapal bagian sebelah kiri sambil menunjuk-nunjuk. Kakak dan adik saya segera berlari menuju sisi kapal tersebut. 

Dari kejauhan, terlihat sekelompok lumba-lumba liar yang saling berkejaran. Awalnya terlihat ada dua atau tiga ekor lumba-lumba. Semakin lama, jumlahnya bertambah banyak sehingga berbentuk kawanan. Lumba-lumba itu berlompatan dari dalam perairan, mengacungkan moncongnya lalu membentuk setengah lingkaran di udara sebelum masuk kembali ke laut. Mereka bergerak semakin mendekat ke kapal, tapi tetap menjaga jarak agar tidak terhantam badan kapal yang melaju kencang. Pagi itu, kami merasa disambut gembira oleh para lumba-lumba. 

Kami bertiga berteriak kegirangan. Selain memang kami belum pernah ke Seaworld untuk melihat lumba-lumba secara langsung, kali ini kami kesenangan karena bisa melihat lumba-lumba beraksi di habitat aslinya. Pengalaman berharga ini akan kami ingat sepanjang hidup. 
Siapa yang menyangka bahwa perjalanan liburan ke kampung halaman nenek bisa se-epik ini?

Segala peluh penat lelah menempuh perjalanan selama seminggu, berlayar dari Tanjung Priok ke Tanjung Perak Surabaya hingga ke pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar seperti menguap. Menginap semalam di Makassar, menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 7 jam ke Pelabuhan Bajoe lalu berlayar menggunakan kapal Feri ke pelabuhan Kolaka seketika pudar oleh rasa takjub dengan sajian aksi lumba-lumba liar. 

"Terus, mami mancing di kapal?"

Cerita saya dipotong oleh pertanyaan Asaboy. 

"Nggak, kalau di kapal Feri nggak bisa mancing. Kan badan kapalnya tinggi banget, boy. Kapal Feri itu kapal yang bisa bawa mobil, truk, motor, bis... "

Mata bulatnya semakin berbinar, mungkin ia sedang membayangkan betapa besarnya kapal Feri. Beberapa tetes air mata terlihat masih menggumpal di sudut matanya. 

"Oh, kapal yang besar banget itu ya, Mi?" ujarnya semangat. 

Ho oh.  Saya mengangguk sambil menggenggam tangannya. Sekali-kali, saya elus punggungnya. Mencoba menenangkannya dari amarahnya pagi ini. 

Sebelum saya bercerita tentang lumba-lumba, Asaboy ngambek. Ia mogok sekolah karena masih ingin libur. Ia masih ingin menghabiskan waktu di rumah, atau sekadar jalan-jalan santai di taman seperti kemarin. 

Setelah mengantar papinya di pagar saat berangkat kerja, Asaboy menangis sambil memeluk saya di kursi. Saya biarkan ia menangis di pelukan, sambil menunggunya tenang. Lalu, saya keluarkan kalimat pamungkas, "Eh, mas mau dengar cerita lumba-lumba, nggak?"

Tangisannya berhenti seketika. Matanya berbinar, tanda ia setuju dengan kalimat saya barusan. 



#Day3
#Tantangan10Hari
#Level7
#KuliahBunsayIIP
#BintangKeluarga







Photo by Peter Fogden on Unsplash

Comments