Setiap Orang Menjadi Guru, Setiap Rumah Menjadi Sekolah

Semboyan yang dipekikkan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara pada era 1920-an. Semboyan yang dikumandangkan sebagai protes atas sekolah-sekolah elit milik kolonial Belanda yang memarjinalkan rakyat jelata.
Semboyan yang masih relevan, bahkan sampai saat ini. :D

semboyan Ki Hajar Dewantara (kemdikbud)
Di era digital seperti sekarang ini, konsep semboyan di atas bisa diterapkan dengan lebih mudah. Bagaimana tidak? Setiap orang tua dapat menyediakan fasilitas belajar mandiri di rumah berbekal bahan ajar yang bertebaran di dunia internet dan dapat dimanfaatkan secara gratis, they are totally free!

Jika membutuhkan legalitas, banyak penyedia layanan belajar daring yang menyertakan paket berbayar dengan sertifikasi. Menurut saya, sertifikasi daring seperti ini cukup valid karena peserta didik diuji secara mandiri, tanpa ada beban atau tuntutan siswa lulus 100% (did I ring someone's bell? :D)

Untuk keluarga kami sendiri, kami menerapkan sistem belajar on demand kepada Asaboy. Ya, belajar semaunya. Sungguh bertentangan dengan konsep sekolah kovensional. Haha. Walaupun saya seorang guru, saya tetap bermimpi bahwa suatu hari nanti Asaboy bisa sekolah secara homeschooling. Sekarang memang Asaboy masih sekolah di rumah, belum kami masukkan ke sekolah TK/ PAUD/ preschool mana pun. Tentu saja banyak orang yang heran dan bertanya,  anak sudah sebesar itu kok belum disekolahkan?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya hanya menjawab, "Anaknya belum mau sekolah". Ya memang Asaboy belum tertarik untuk masuk sekolah. Saya pun masih menikmati untuk memantau perkembangannya langsung di rumah. Jadi ya, santai saja :)

Asaboy memang belum masuk sekolah formal, tapi dengan sistem belajar on demand yang kami terapkan, sangat menyenangkan untuk melihatnya belajar di mana saja, dengan siapa saja. Misalnya seperti perjalanan menggunakan kereta yang biasa kami tempuh jika pergi ke rumah eyang kakungnya. Bahan ajar bertebaran di mana-mana, tanpa perlu saya siapkan sama sekali. Tapi ya, responnya juga spontan. Makanya emaknya yang kudu belajar banyak untuk memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan ajaibnya :)

Di kereta kemarin kami belajar membaca. Kebetulan, kami mendapat tempat duduk prioritas. Di dinding sebelah kursi prioritas terpampang poster tentang siapa yang berhak untuk mendapatkan tempat duduk. Sambil menikmati perjalanan, Asaboy menunjuk poster dan bilang, "Mami, ini huruf apa?" Saya jawab sesuai dengan huruf yang ia tunjuk. Lalu ia bertanya lagi, "Kok beda sama tulisan papi?" Lalu saya jelaskan tentang font secara sekilas. Bagaimana sebuah huruf dapat berubah bentuk sesuai dengan gaya tulisannya, namun dengan konsep dasar yang sama.

belajar membaca huruf di poster di kereta
Setelah huruf, ia pun menunjuk dan menerangkan ke saya simbol-simbol yang terpampang di poster tersebut. Katanya, "ini kakek-kakek pake tongkat, ini tante yang ada adek bayi di perutnya, ini orang sakit pake tongkat, ini mas sama mami (simbol ibu dan balita)" Lalu saya tanya, "jadi, kita boleh duduk di sini ya, mas?" Ia menjawab, "boleh dong, mami.. ".

menjelaskan simbol ke maminya

Ia bahkan sempat bercerita tentang seorang ibu hamil yang kami temui sebelumnya, "mami, kita lupa nanya sama tante yang tadi, kapan lahirannya ya dia?" Jiaaaahh... kecil-kecil anak ini dah kepo juga, ternyata :D
So I guess learning on demand is not that bad, isn't it?
Anak jadi menikmati proses belajar, kapan saja dan di mana saja. :)




Comments