Lo-Gue, Aku-Kamu.

image: www.pexels.com

"Ah, lo mah gitu" 
Tetiba hari ini Asaboy ngomong begitu sama kakak sepupunya. Saya langsung nengok dan refleks nanya, "mas, barusan ngomong apa?" Lalu dia diam. 
Dia tahu bahwa saya nggak suka mendengar apa yang baru saja ia ucapkan. 

Duh, buibu.. berat bener ya jadi ibu. 

Apa saya aja ini yang lebay?

Jujur, saya nggak suka kalau ada anak kecil sudah menggunakan bahasa "lo-gue" saat mereka masih balita. Rasanya kok jengah gitu dengernya. Bukan masalah elit atau gimana sih, cuma menurut saya ini masalah etika. Jangan sampai nanti ia berbahasa "lo-gue" saat berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa. Jatohnya nggak sopan, kan?

Sebenernya Asaboy tahu bahwa itu nggak sopan. Tapi kalau sudah masuk ke dalam lingkungan dengan gaya bahasa seperti itu, ya, namanya juga anak-anak ya... cepat sekali menyerap apapun. Ya termasuk semua hal yang seperti itu, jadi  langsung ia praktikkan begitu saja. 

Saya jadi ingat analogi "bungkus wafer" yang dipraktikkan oleh mbak Sarra Risman, beliau adalah salah seorang putri dari psikolog Ibu Elly Risman. Mbak Sarra pernah menulis tentang analogi bagaimana ia memproteksi anak-anaknya dari pengaruh negatif di lingkungan. 

Sejatinya seorang anak adalah putih, suci dan bersih. Orang tua lah yang akan memberikan warna terhadap anak tersebut. Nah, kalau masih balita, otak anak kan masih berkembang. Jadi, mereka belum bisa membedakan mana yang baik, mana yang kurang baik. 
Ibarat sebuah wafer, tentunya kalau kemasannya sudah dibuka, maka wafer tersebut harus kita tutup rapat-rapat. Karena kalau nggak kan nanti wafernya bisa melempem. 
Apa hubungannya dengan anak?

Kalau "sistem pembungkus" anak belum terbuat dengan baik, maka ketika si anak "nyemplung" ke got (lingkungan buruk), maka si anak belum mempunyai kekebalan tubuh yang cukup untuk menangkal semua pengaruh negatif tersebut. Tapi, kalau si anak sudah punya "sistem kemasan" yang baik, mau nyemplung ke mana saja, maka isi dari wafer, atau mental si anak tidak akan terkontaminasi. 

Lalu, apa hubungannya dengan tantangan yang sedang kami hadapi saat ini?

Untuk sekarang, tidak mungkin untuk menarik diri Asaboy dari lingkungan tersebut seutuhnya karena silaturahim. Tapi, yang bisa saya lakukan adalah "memancing kesadarannya". Ketika sedang tidak berada di lingkungan tersebut, saya tanya baik-baik, "mas, tadi mas panggil kakak apa? "Lo", ya?". Kemudian ia mengangguk. 
Saya tanya lagi, "menurut mas, panggil "lo" ke kakak itu sopan, nggak?"
"Nggak" jawabnya.
"Kalau nggak sopan, boleh dilakukan?" tanya saya lagi
"Nggak boleh" jawabnya lagi. 

"Jadi, kita nggak boleh ya panggil "lo" atau ngomong "gue" kalau lagi ngobrol. Karena itu tidak sopan. Ya kan?" saya berusaha meng-afirmasi apa yang sudah ia kemukakan sebelumnya. 

Ia pun mengiyakan. 

Apa saya berlebihan? mungkin. 
Saya cuma berusaha mengingatkan. Karena kalau bukan kami sebagai orang tuanya, siapa lagi?


Comments