Komunikasi Produktif Dengan Anak (Hari 4)

Quote oleh mendiang Steve Jobs

Waktu pertama kali dengar tentang Institut Ibu Profesional, yang ada di benak saya adalah bagaimana agar saya bisa bergabung dan belajar langsung dari pakarnya, Ibu Septi Peni Wulandari. 
Ketika sekarang saya berhasil lulus matrikulasi dan masuk di dalam Kelas Bunda Sayang, rasanya hidup sebagai ibu tidak seberat dulu. 

Mungkin karena saya merasa bahwa saya demikian bodoh dalam ilmu parenting, maka setiap pelajaran yang diberikan di dalam kelas bunda sayang tersebut, saya cerna, pelajari kemudian praktikkan sedikit demi sedikit, semampu saya. Walaupun sih kadang nggak berhasil, tapi nggak apa-apalah ya, maks. Namanya juga usaha. Seperti kata mendiang om Steve Jobs di atas. 

Maka itulah pegangan saya ketika praktik tidak sejalan dengan teori. 

Hari ini bukan cerita tentang kesuksesan saya berkomunikasi produktif dengan anak, tetapi cerita kekalahan saya dalam mengendalikan emosi. I know, this is aib. But, who cares, anyway. We are human, of flesh and blood we're made

Sepanjang sore tadi, hujan turun cukup deras. #Asaboy, yang memang hobi hujan-hujanan sudah mulai merengek untuk dibolehkan bermain hujan. Saya masih sibuk di dapur, menyiapkan masakan untuk berbuka puasa. Akhirnya si boy diizinkan untuk bermain hujan-hujanan di teras, sambil diawasi oleh papanya. 

Setengah jam kemudian, hujan sudah berhenti dan Asaboy masih bermain air becekan di luar. Dalam kondisi peluh dan lelah di dapur, saya ke teras dan berniat untuk menegur si bocil karena sudah terlalu lama bermain air. 

Si kecil tidak menurut dan masih berusaha untuk meminta back up dari papanya agar diizinkan bermain air lebih lama. Setelah dibujuk, Asaboy akhirnya mau mandi, dengan syarat ia akan mandi di teras (kondisi pagar depan tertutup sehingga memang tidak terlihat dari luar) Karena papanya sedang sibuk kerja, maka saya mengawasi si kecil mandi.

Asaboy masih asyik bermain air sambil mengeluarkan sabun cair dari botol dalam jumlah banyak. Saya mulai emosi. 
"Mas, itu sabun jangan dibuang-buang", kata saya. 
"Apaan sih, mami. Orang mas mau mandi busa." sahutnya
Duh, anak masih bayik kok udah pinter nyaut, pikir saya. 
Saya ingat saya sedang berpuasa, tapi nampaknya kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk tetap tenang dan menjadi ibu peri. 

Tanduk saya mulai naik secara perlahan. 
"Mas, udah.. sabun cairnya sudah banyak", kembali saya ingatkan si kecil. 
Ndilalah, anak ini malah semakin melawan dan bilang,
"Mami berisik, ih... orang mas lagi mandi"
Sontak, saya lepas kendali dan segera bangkit dari tempat duduk. 
Saya membentak Asaboy.

"Mas! ngerti nggak kalau mami bilang?! Sabun jangan dibuang!" Saya merepet sambil mengguyur mas dengan air, memandikannya dengan cepat.
Asaboy langsung diam seribu bahasa, menahan emosi juga. Saya nggak peduli. 
Saya masih saja membasuh tubuhnya, mengeramasi, kemudian memandikannya hingga tuntas. 
Saya lupa. Saya khilaf. 

Setelah Asaboy selesai pakai handuk dan pakai baju, ia menolak baju yang saya siapkan sambil berteriak, "mas nggak sayang mami!"
Saat itu saya sadar bahwa saya sudah membuat kesalahan. Saya telah kalah hari ini. 
Membiarkan semua emosi membumbung tinggi tanpa kendali. 
Melepaskan semua amarah tanpa arah. 



Duh, itu nyeselnya nggak ketulungan. Tapi apa mau dikata? nasi sudah menjadi bubur. 
Akhirnya, Asaboy ngambek dan hanya mau ngomong sama papanya.
Saya hanya duduk mojok sambil istighfar
Ternyata, saya cuma segitu. 
Hari ini, saya catat kekalahan saya agar di kemudian hari, saya tahu bahwa saya tidak sempurna.
Saya hanyalah manusia biasa yang masih bodoh, perlu banyak belajar dan bermuhasabah. 



Comments