Tentang #FullDaySchool

Belakangan ini, timeline media sosial kita ramai dengan wacana Mendikbud yang baru tentang #FullDaySchool.

Wacana kebijakan ini konon sengaja dilempar oleh pejabat yang menggantikan posisi bapak Anies Baswedan di bulan Juli silam, untuk mengetahui respon dari masyarakat.

“Jika memang belum dapat dilaksanakan, saya akan menarik rencana itu (Rencana Full day School Dibatalkan) dan mencari pendekatan lain,” kata Muhadjir dalam konferensi pers di restoran Batik Kuring, Jakarta, 9 Agustus 2016. “Masyarakat harus mengkritik gagasan ini, jangan keputusan sudah saya buat kemudian merasa tidak cocok.”

Respon dari masyarakat pun pro dan kontra. Para orang tua yang sudah menyekolahkan putra/i-nya di sekolah dengan sistem tersebut nampak mendukung wacana ini. Namun, bagi sebagian masyarakat lain, khususnya para orang tua dan siswa di sekolah negeri, mereka menyuarakan hal yang sebaliknya.

Lahirnya wacana ini disebabkan oleh kekhwatiran Mendikbud akan banyaknya kejahatan di dunia anak. Menurut beliau, anak-anak akan lebih aman jika berada di sekolah dibanding dengan mereka berkeliaran sepulang sekolah tanpa pengawasan orang tua.

Di satu sisi, kebijakan ini terlihat baik, namun apakah memang sistem ini sudah cocok diterapkan di Indonesia secara keseluruhan?
Penasaran, saya pun mencoba bertanya kepada para siswa melalui survei kecil-kecilan yang saya lakukan via Twitter.


Survei ini saya pasang selama 3 hari di akun twitter pribadi saya. Pendapat dan alasan mereka pun beragam, di antaranya adalah:



Data ini masih sangatlah mentah untuk dinyatakan sebagai hasil yang valid. Namun, ini adalah sebagian kecil dari suara anak-anak negeri yang merasa bahwa sekolah adalah beban sehingga mereka merasa keberatan jika mereka harus tinggal lebih lama di sekolah. Walaupun menurut pak menteri, FDS tersebut tidak melulu belajar di kelas, namun dapat diisi dengan kegiatan kokurikuler. 
Hasil akhir dari survei tersebut adalah seperti nampak di bawah ini:

74% dari responden menyatakan tidak setuju, sementara sisanya menyatakan setuju. 
Status kebijakan ini memang masih wacana. Namun, saya sangat berharap pihak kementrian dapat mengkaji hal ini lebih dalam lagi dengan mempertimbangkan beragam aspek. Sebenarnya, ada banyak hal lain yang jauh lebih penting untuk dilakukan lebih dulu ketimbang membuat beragam kebijakan baru, sih.




Referensi:
1, 2 dan 3