Hamil Ektopik (3)

Disclaimer: Posting ini murni berisi kejadian yang saya alami dan tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Semoga bermanfaat dan menjadi hikmah bagi para pembaca. 

Lanjutan dari postingan ini
Entah apa yang ada di pikiran saya waktu itu untuk memilih tindakan operasi. Mungkin karena saya pikir bisa melalui operasi SC #Asaboy tanpa masalah berarti maka saya memiliki keberanian untuk kembali pasrah di meja operasi. Namun papoy tidak setuju dengan pilihan saya karena dia khawatir dengan segala efek samping dan kemungkinan bahwa nantinya saya hanya akan mempunyai satu indung telur. Dengan dua indung telur saja kehamilan saya sudah dua kali gagal, bagaimana hanya satu? So, we chose the chemotherapy.
Pilihan kemoterapi membuahkan konsekuensi panjang dan perih bagi saya.
Sesuai prosedur, maka kondisi saya harus diperiksa secara keseluruhan untuk memastikan bahwa kemoterapi tersebut tepat sasaran. Ini saya setuju, karena secara pribadi pun saya sangat takut dengan segala efek samping dari tindakan kemoterapi ini.
Prosedur pra-kemoterapi di RS pemerintah tersebut adalah:
1. Cek darah
2. Rontgen thorax
3. Mengambil hasil cek darah
4. Mengambil hasil rontgen 
5. Mendaftar konsultasi ke poliklinik (poli) jantung
6. Datang konsultasi ke poli jantung
7. Mendapatkan jadwal Echo Cardiogram
8. Mendaftar konsultasi ke poli jantung
9. Datang konsultasi ke poli jantung
10. Mendaftar dan konsultasi ke poli kandungan
11. Mendaftar ke klinik kemoterapi
12. Memesan obat kemoterapi
13. Mengantri obat kemoterapi
14. Mendapat terapi kemoterapi
Noted, prosedur tersebut saya catat disini berdasarkan PENGALAMAN saya mondar mandir sana sini, turun-naik tangga, berlarian sepanjang koridor hingga drama menangis dan mengemis jadwal di poli jantung dan echo.
Tes darah dan rontgen alhamdulillah bisa saya lakukan hari itu juga untuk kemudian hasilnya diambil di hari berikutnya. Namun, rangkaian pemeriksaan jantung cukup membuat saya lelah hati, jiwa dan pikiran! haha..
I was a total drama queen that moment. Bagaimana tidak? untuk mendapatkan jadwal BERTEMU seorang dokter (residen) jantung, saya harus menanti minimal 2 minggu dari saya dirujuk ke poli jantung! Maka saya pun menangis, mengemis untuk diberikan kesempatan untuk konsultasi pada minggu itu. Kenapa? karena diagnosa KEBT (Kehamilan Ektopik Belum Terganggu) ini sangat menghantui saya. Bagaikan menyimpan sebuah bom waktu yang dapat meledak kapan saja.
Akhirnya, mbak petugas poli jantung tersebut tidak tega dan memberikan kesempatan konsultasi pada hari Jumat.

Setelah konsultasi dengan dokter jantung yang ganteng itu, maka saya dirujuk untuk pemeriksaan echocardiogram. Namun, dikarenakan keterbatasan alat dan panjangnya antrian jadwal pemeriksaan pasien, maka saya mendapatkan jadwal echo pada bulan Desember. It means I have to hold this for about 2 months. Sementara, tiada yang bisa mengetahui pasti perubahan status diagnosa KEBT menjadi Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) yang dapat menyebabkan kematian pada ibu akibat keterlambatan penanganan.

Akhirnya saya pun nekat mencoba alternatif lain. Dari klinik echo, kami berlari (literally, running!) menuju ke konter BPJS di rumah sakit tersebut. Saya menggali informasi apakah bisa echo di rumah sakit lain secepatnya? Sang petugas menyatakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan, selama saya membawa semua berkas rujukan dari dokter jantung. Sumringah, saya dan papoy langsung gaspol menuju RS Hermina Depok.

(bersambung)